Selasa, 17 April 2018

Anatomi dan Fisiologi Sistem Pernafasan


Sebelum membahas tentang Anatomi dan Fisiologi Sistem Pernafasan ini dalam rangka  memberikan Asuhan Keperawatan pada pasien dengan gangguan Sistem pencernaan dapat menuju ke Persatuan Perawat Nasional Indonesia


Silahkan dowloand RPP Sistem Pernafasan 



Jangan Lupa untuk mengunjungi :
2. Igi
2.1  Anatomi Sistem Pernafasan
2.1.1.  Organ Pernafasan






2.1.1.1.   Hidung
Hidung atau nasal merupakan saluran udara yang pertama, mempunyai dua lubang (kavum nasi), dipisahkan oleh sekat hidung (septum nasi). Di dalamnya terdapat bulu-bulu yang berguna untuk menyaring udara, debu, dan kotoran yang masuk ke dalam lubang hidung (Syaifuddin, 2006).
Di bagian depan berhubungan keluar melalui nares (cuping hidung) anterior dan di belakang berhubungan dengan bagian atas farings (nasofaring). Masing-masing rongga hidung dibagi menjadi bagian vestibulum, yaitu bagian lebih lebar tepat di belakang nares anterior, dan bagian respirasi (Graaff, 2010).
Menurut Pearce (2007) permukaan luar hidung ditutupi oleh kulit yang memiliki ciri adanya kelenjar sabesa besar, yang meluas ke dalam vestibulum nasi tempat terdapat kelenjar sabesa, kelenjar keringat, dan folikel rambut yang kaku dan besar. Rambut ini berfungsi menapis benda-benda kasar yang terdapat dalam udara inspirasi.
Terdapat 3 fungsi rongga hidung :
1)        Dalam hal pernafasan = udara yang di inspirasi melalui rongga hidung akan menjalani 3 proses yaitu penyaringan (filtrasi), penghanatan, dan pelembaban.
2)        Ephithelium olfactory = bagian meial rongga hidung memiliki fungsi dalam penerimaan bau.
3)        Rongga hidung juga berhubungan dengan pembentukan suara- suara fenotik dimana ia berfungsi sebagai ruang resonasi.
Menurut Graaff (2010) pada potongan frontal, rongga hidung berbentuk seperti buah alpukat, terbagi dua oleh sekat (septum mediana). Dari dinding lateral menonjol tiga lengkungan tulang yang dilapisi oleh mukosa, yaitu:
1)        Konka nasalis superior,
2)        Konka nasalis medius,
3)        Konka nasalis inferior, terdapat jaringan kavernosus atau jaringan erektil yaitu pleksus vena besar, berdinding tipis, dekat permukaan.

Diantara konka-konka ini terdapat 3 buah lekukan meatus yaitu meatus superior (lekukan bagian atas), meatus medialis (lekukan bagian tengah dan meatus inferior (lekukan bagian bawah). Meatus-meatus inilah yang dilewati oleh udara pernafasan, sebelah dalam terdapat lubang yang berhubungan dengan tekak, lubang ini disebut koana.

Dasar dari rongga hidung dibentuk oleh tulang rahang atas, keatas rongga hidung berhubungan dengan beberapa rongga yang disebut sinus paranasalis, yaitu sinus maksilaris pada rongga rahang atas, sinus frontalis pada rongga tulang dahi, sinus sfenoidalis pada rongga tulang baji dan sinus etmodialis pada rongga tulang tapis (Syaifuddin, 2006).

Pada sinus etmodialis, keluar ujung-ujung saraf penciuman yang menuju ke konka nasalis. Pada konka nasalis terdapat sel-sel penciuman, sel tersebut terutama terdapat di bagianb atas. Pada hidung di bagian mukosa terdapat serabut-serabut syaraf atau respektor dari saraf penciuman disebut nervus olfaktorius (Syaifuddin, 2006).
Disebelah belakang konka bagian kiri kanan dan sebelah atas dari langit-langit terdapat satu lubang pembuluh yang menghubungkan rongga tekak dengan rongga pendengaran tengah, saluran ini disebut tuba auditiva eustaki, yang menghubungkan telinga tengah dengan faring dan laring. Hidung juga berhubungan dengan saluran air mata disebut tuba lakminaris (Syaifuddin, 2006).
Fungsi hidung, terdiri dari :
1)      Bekerja sebagai saluran udara pernafasan
2)      Sebagai penyaring udara pernafasan yang dilakukan oleh bulu-bulu hidung
3)      Dapat menghangatkan udara pernafasan oleh mukosa
4)      Membunuh kuman-kuman yang masuk, bersama-sama udara pernafasan oleh leukosit yang terdapat dalam selaput lendir (mukosa) atau hidung.

2.1.1.2.     Faring
Tekak atau faring merupakan tempat persimpangan antara jalan pernapasan dan jalan makanan. Terdapat dibawah dasar tengkorak, dibelakang rongga hidung dan mulut sebelah depan ruas tulang leher. Hubungan faring dengan organ-organ lain keatas berhubungan dengan rongga hidung, dengan perantaraan lubang yang bernama koana. Ke depan berhubungan dengan rongga mulut, tempat hubungan ini bernama istmus fausium. Ke bawah terdapat dua lubang, ke depan lubang laring, ke belakang lubang esofagus (Syaifuddin, 2006).
Dibawah selaput lendir terdapat jaringan ikat, juga dibeberapa tempat terdapat folikel getah bening. Perkumpulan getah bening ini dinamakan adenoid. Disebelahnya terdapat 2 buah tonsilkiri dan kanan dari tekak. Di sebelah belakang terdapat epiglottis (empang tenggorok) yang berfungsi menutup laring pada waktu menelan makanan (Syaifuddin, 2006).
Menurut Graaff (2010) Faring dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:
1)   Nasofaring, yang terletak di bawah dasar tengkorak, belakang dan atas palatum molle.  Pada bagian ini terdapat dua struktur penting yaitu adanya saluran yang menghubungkan dengan tuba eustachius dan tuba auditory. Tuba Eustachii bermuara pada nasofaring dan berfungsi menyeimbangkan tekanan udara pada kedua sisi membrane timpani. Apabila tidak sama, telinga terasa sakit. Untuk membuka tuba ini, orang harus menelan. Tuba Auditory yang menghubungkan nasofaring dengan telinga bagian tengah.
2)   Orofaring merupakan bagian tengah farings antara palatum lunak dan tulang hyodi. Pada bagian ini traktus respiratory dan traktus digestif menyilang dimana orofaring merupakan bagian dari kedua saluran ini. Orofaring terletak di belakang rongga mulut dan permukaan belakang lidah. Dasar atau pangkal lidah berasal dari dinding anterior orofaring, bagian orofaring ini memiliki fungsi pada system pernapasan dan system pencernaan. refleks menelan berawal dari orofaring menimbulkan dua perubahan makanan terdorong masuk ke saluran cerna (oesophagus) dan secara stimulant, katup menutup laring untuk mencegah makanan masuk ke dalam saluran pernapasan.  Orofaring dipisahkan dari mulut oleh fauces. Fauces adalah tempat terdapatnya macam-macam tonsila, seperti tonsila palatina, tonsila faringeal, dan tonsila lingual.
3)   Laringofaring terletak di belakang larings. Laringofaring merupakan posisi terendah dari farings. Pada bagian bawah laringofaring system respirasi menjadi terpisah dari sitem digestif. Udara melalui bagian anterior ke dalam larings dan makanan lewat posterior ke dalam esophagus melalui epiglottis yang fleksibel.

2.1.1.3.     Laring
Pangkal Tenggorokan (laring) merupakan saluran udara dan bertindak sebagai pembentukan suara terletak di depan bagian faring sampai ketinggian vertebra servikalis dan masuk ke dalam trakea dibawahnya. Pangkal tenggorokan itu dapat ditutup oleh sebuah empang tenggorok yang disebut epiglotis, yang terdiri dari tulang-tulang rawan yang berfungsi pada waktu kita menelan makanan menutupi laring (Syaifuddin, 2006).
Laring terdiri dari 5 tulang rawan antara lain:
1)      Kartilago tiroid (1 buah) depan jakun sangat jelas terlihat pada pria.
2)      Kartilago ariteanoid (2 buah) yang berbentuk beker
3)      Kartilago krikoid (1 buah) yang berbentuk cincin
4)      Kartilago epiglotis (1 buah).
Laring dilapisi oleh selaput lendir, kecuali pita suara dan bagian epiglotis yang dilapisi oleh sel epitelium berlapis (Syaifuddin, 2006).
Proses pembentukan suara :
Terbentuknya suara merupakan hasil dari kerjasama antara rongga mulut, rongga hidung, laring, lidah dan bibir. Pada pita suara palsu tidak terdapat otot, oleh karena itu pita suara ini tidak dapat bergetar, hanya antara kedua pita suara tadi dimasuki oleh aliran udara maka tulang rawan gondok dan tulang rawan bentuk beker tadi diputar. Akibatnya pita suara dapat mengencang dan mengendor dengan demikian sela udara menjadi sempit atau luas (Syaifuddin, 2006).
Pergerakan ini dibantu pula oleh otot-otot laring, udara yang dari paru-paru dihembuskan dan menggetarkan pita suara. Getaran itu diteruskan melalui udara yang keluar – masuk. Perbedaan suara seseorang bergantung pada tebal dan panjangnya pita suara. Pita suara pria jauh lebih tebal daripada pita suara wanita (Syaifuddin, 2006).

2.1.1.4.     Trakea
Batang Tenggorokan (trakea) merupakan lanjutan dari laring yang terbentuk oleh 16-20 cincin yang terdiri dari tulang-tulang rawan yang berbentuk seperti kuku kuda. Panjang trakea 9-11 cm dan dibelakang terdiri dari jaringan ikat yang dilapisi oleh otot polos. Sebelah dalam diliputi oleh selaput lendir yang berbulu getar yang disebut sel bersilia hanya bergerak kearah luar  (Syaifuddin, 2006).
Trakea terletak di depan saluran esofagus, mengalami percabangan di bagian ujung menuju ke paru-paru. Yang memisahkan trakea menjadi bronkus kiri dan kanan disebut karina. Dinding-dinding trakea tersusun atas sel epitel bersilia yang menghasilkan lendir. Lendir ini berfungsi untuk penyaringan lanjutan udara yang masuk, menjerat partikel-partikel debu, serbuk sari dan kontaminan lainnya. Sel silia berdenyut akan menggerakan mukus ini naik ke faring yang dapat ditelan atau dikeluarkan melalui rongga mulut. Hal ini bertujuan untuk membersihkan saluran pernapasaan (Graaff, 2010).

2.1.1.5.     Bronkus
Bronkus terbagi menjadi bronkus kanan dan kiri, bronkus lobaris kanan ( 3 lobus) dan bronkus lobaris kiri ( 2 bronkus). Bronkus lobaris kanan terbagi menjadi 10 bronkus segmental dan bronkus lobaris kiri terbagi menjadi 9 bronkus segmental. Bronkus segmentalis ini kemudian terbagi lagi menjadi bronkus subsegmental yang dikelilingi oleh jaringan ikat yang memiliki arteri, limfatik dan saraf (Syaifuddin, 2006).
1)      Bronkiolus
Bronkus segmental bercabang-cabang menjadi bronkiolus. Bronkiolus mengandung kelenjar submukosa yang memproduksi lendir yang membentuk selimut tidak terputus untuk melapisi bagian dalam jalan nafas.
2)      Bronkiolus terminalis
Bronkiolus membentuk percabangan menjadi bronkiolus terminalis (yang mempunyai kelenjar lendir dan silia).
3)      Bronkiolus respiratori
Bronkiolus terminalis kemudian menjadi bronkiolus respirstori. Bronkiolus respiratori dianggap sebagai saluran transisional antara lain jalan nafas konduksi dan jalan udara pertukaran gas.
4)      Duktus alveolar dan sakus alveolar
Bronkiolus respiratori kemudian mengarah ke dalam duktus alveolar dan sakus alveolar. Dan kemudian menjadi alvioli.

2.1.1.6.     Paru-Paru
Paru-paru merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian besar terdiri dari gelembung (gelembung hawa atau alveoli). Gelembug alveoli ini terdiri dari sel-sel epitel dan endotel. Jika dibentangkan luas permukaannya kurang lebih 90 m². Pada lapisan ini terjadi pertukaran udara, O2 masuk ke dalam darah dan CO2 dikeluarkan dari darah. Banyaknya gelembung paru-paru ini kurang lebih 700.000.000 buah (paru-paru kiri dan kanan) (Syaifuddin, 2006).
Paru-paru dibagi dua yaitu paru-paru kanan, terdiri dari 3 lobus (belahan paru), lobus pulmo dekstra superior, lobus media, dan lobus inferior. Tiap lobus tersusun oleh lobulus. Paru-paru kiri, terdiri dari pulmo sinistra lobus superior dan lobus inferior. Tiap-tiap lobus terdiri dari belahan yang kecil bernama segmen. Paru-paru kiri mempunyai 10 segmen yaitu 5 buah segmen pada lobus superior, dan 5 buah segmen pada inferior. Paru-paru kanan mempunyai 10 segmen yaitu 5 buah segmen pada lobus superior, 2 buah segmen pada lobus medialis, dan 3 buah segmen pada lobus inferior. Tiap-tiap segmen ini masih terbagi lagi menjadi belahan-belahan yang bernama lobulus (Syaifuddin, 2006).
Di antara lobulus satu dengan yang lainnya dibatasi oleh jaringan ikat yang berisi pembuluh darah getah bening dan saraf, dan tiap lobulus terdapat sebuah bronkiolus. Di dalam lobulus, bronkiolus ini bercabang-cabang banyak sekali, cabang ini disebut duktus alveolus. Tiap duktus alveolus berakhir pada alveolus yang diameternya antara 0,2-0,3 mm (Syaifuddin, 2006).
Letak paru-paru di rongga dada datarannya menghadap ke tengah rongga dada atau kavum mediastinum. Pada bagian tengah terdapat tampuk paru-paru atau hilus. Pada mediastinum depan terletak jantung. Paru-paru dibungkus oleh selaput yang bernama pleura. Pleura dibagi menjadi 2 yaitu, yang pertama pleura visceral (selaput dada pembungkus) yaitu selaput paru yang langsung membungkus paru-paru. Kedua pleura parietal yaitu selaput yang melapisi rongga dada sebelah luar. Antara keadaan normal, kavum pleura ini vakum (hampa) sehingga paru-paru dapat berkembang kempis dan juga terdapat sedikit cairan (eksudat) yang berguna untuk meminyaki permukaanya (pleura), menghindarkan gesekan antara paru-paru dan dinding dada sewaktu ada gerakan bernapas (Syaifuddin, 2006).
Persyarafan penting dalam aksi pergerakan pernapasan disuplai melalui N. Phrenicus dan N. Spinal Thoraxic. Nervus Phrenicus mempersyarafi diafragma, sementara N.Spinal Thoraxic mempersyarafi intercosta. Di samping syaraf-syaraf tersebut, paru juga dipersyarafi oleh serabut syaraf simpatis dan para simpatis (Pearce, 2007).
Di dalam paru terdapat peredaran darah ganda. Darah yang miskin oksigen dari ventrikel kanan masuk ke paru melalui arteri pulmonalis. Selain system arteri dan vena pulmonalis, terdapat pula arteri dan vena bronkialis, yang berasal dari aorta, untuk memperdarahi jaringan bronki dan jaringan ikat paru dengan darah kaya oksigen. Ventilasi paru (bernapas) melibatkan otot-otot pernapasan, yaitu diafragma dan otot-otot interkostal. Selain  ini ada otot-otot pernapasan tambahan eperti otot-otot perut (Graaff, 2010).
Menurut Pearce (2007) volume udara pernafasan terdiri dari:
1)        Volume Tidal (VT) : Volume udara yang keluar masuk paru-paru sebagai akibat aktivitas pernapasan biasa (500 cc).
2)        Volume Komplemen (VK) : Volume udara yang masih dapat dimasukkan secara maksimal ke dalam paru-paru setelah inspirasi biasa (1500 cc)
3)        Volume Suplemen (VS) : Volume udara yang masih dapat dihembuskan secara maksimal dari dalam paru-paru setelah melakukan ekspirasi biasa (1500 cc)
4)        Volume Residu (VR) : Volume udara yang selalu tersisa di dalam paru-paru setelah melakukan ekspirasi sekuat-kuatnya (1000 cc)
5)        Kapasitas Vital (KV) : Volume udara yang dapat dihembuskan sekuat-kuatnya setelah melakukan inspirasi sekuat-kuatnya (KV = VT + VK + VS) 3500 cc
6)        Kapasitasi Total (KT) : Volume total udara yang dapat tertampung di dalam paru-paru (KT = KV + VR) 4500 cc

2.1.2.      Proses Terjadinya Pernafasan
Pernapasan (respirasi) adalah peristiwa menghirup udara dari luar yang mengandung oksigen serta menghembuskan udara yang banyak mengandung karbondioksida sebagai sisa dari oksidasi keluar dari tubuh. Penghisapan udara ini disebut inspirasi dan menghembuskan disebut ekspirasi. Jadi, dalam paru-paru terjadi pertukaran zat antara oksigen yang ditarik dan udara masuk kedalam darah dan CO2 dikeluarkan dari darah secara osmosis. Kemudian CO2 dikeluarkan melalui traktus respiratorius (jalan pernapasan) dan masuk kedalam tubuh melalui kapiler-kapiler vena pulmonalis kemudian massuk ke serambi kiri jantung (atrium sinistra) menuju ke aorta kemudian ke seluruh tubuh (jaringan-jaringan dan selsel), di sini terjadi oksidasi (pembakaran). Sebagai sisa dari pembakaran adalah CO2 dan dikeluarkan melalui peredaran darah vena masuk ke jantung (serambi kanan atau atrium dekstra) menuju ke bilik kanan (ventrikel dekstra) dan dari sini keluar melalui arteri pulmonalis ke jaringan paru-paru. Akhirnya dikeluarkan menembus lapisan epitel dari alveoli. Proses pengeluaran CO2 ini adalah sebagian dari sisa metabolisme, sedangkan sisa dari metabolisme lainnya akan dikeluarkan melalui traktus urogenitalis dan kulit (Syaifuddin, 2006).
Setelah udara dari luar diproses, di dalam hidung masih terjadi perjalanan panjang menuju paru-paru (sampai alveoli). Pada laring terdapat epiglotis yang berguna untuk menutup laring sewaktu menelan, sehingga makanan tidak masuk ke trakhea, sedangkan waktu bernapas epiglotis terbuka, begitu seterusnya. Jika makanan masuk ke dalam laring, maka akan mendapat serangan batuk, hal tersebut untuk mencoba mengeluarkan makanan tersebt dari laring (Syaifuddin, 2006).
Terbagi dalam 2 bagian yaitu inspirasi (menarik napas) dan ekspirasi (menghembuskan napas). Bernapas berarti melakukan inpirasi dan eskpirasi secara bergantian, teratur, berirama, dan terus menerus. Bernapas merupakan gerak refleks yang terjadi pada otot-otot pernapasan. Refleks bernapas ini diatur oleh pusat pernapasan yang terletak di dalam sumsum penyambung (medulla oblongata). Oleh karena seseorang dapat menahan, memperlambat, atau mempercepat napasnya, ini berarti bahwa refleks bernapas juga dibawah pengaruh korteks serebri. Pusat pernapasan sangat peka terhadap kelebihan kadar CO2 dalam darah dan kekurangan dalam darah. Inspirai terjadi bila muskulus diafragma telah mendapat rangsangan dari nervus frenikus lalu mengerut datar (Syaifuddin, 2006).
 Muskulus interkostalis yang letaknya miring, setelah ,mendapat rangsangan kemudian mengerut dan tulang iga (kosta) menjadi datar. Dengan demikian jarak antara sternum (tulang dada) dan vertebra semakin luas dan melebar. Rongga dada membesar maka pleura akan tertarik, yang menarik paru-paru sehingga tekanan udara di dalamnya berkurang dan masuklah udara dari luar (Syaifuddin, 2006).
 Ekspirasi, pada suatu saat otot-otot akan kendor lagi (diafragma akan menjadi cekung, muskulus interkostalis miring lagi) dan dengan demikian rongga dan dengan demikian rongga dada menjadi kecil kembali, maka udara didorong keluar. Jadi proses respirasi atau pernapasan ini terjadi karena adanya perbedaan tekanan antara rongga pleura dan paru-paru (Syaifuddin, 2006).
Pernapasan dada, pada waktu seseorang bernapas, rangka dada terbesar bergerak, pernapasan ini dinamakan pernapasan dada. Ini terdapat pada rangka dada yang lunak, yaitu pada orang-orang muda dan pada perempuan (Syaifuddin, 2006).
Pernapasan perut, jika pada waktu bernapas diafragma turun naik, maka ini dinamakan pernapasan perut. Kebanyakan pada orang tua, Karena tulang rawannya tidak begitu lembek dan bingkas lagi yang disebabkan oleh banyak zat kapur yang mengendap di dalamnya dan banyak ditemukan pada laki-laki (Syaifuddin, 2006).

2.2  Fisiologi sistem pernafasan
Oksigen dalam tubuh dapat diatur menurut keperluan. Manusia sangat membutukan okigen dalam hidupnya, kalau tidak mendapatkan oksigen selama 4 menit akan mengakibatkan kerusakan pada otak yang tidak dapat diperbaiki lagidan bisa menimbulkan kematian. Kalau penyediaan oksigen berkurang akan menimbulkan kacau pikiran dan anoksia serebralis (Syaifuddin, 2006).
1)      Pernapaan paru
Pernapasan paru adalah pertukaran oksigen dan karbondioksida yang terjadi pada paru-paru. Pernapasan melalui paru-paru atau pernapasan eksterna, oksigen diambil melalui mulut dan hidung pada waktu bernapas yang oksigen masuk melalui trakea sampai ke alveoli berhubungan dengan darah dalam kapiler pulmonar. Alveoli memisahkan okigen dari darah, oksigen menembus membran, diambil oleh sel darah merah dibawa ke jantung dan dari jantung dipompakan ke seluruh tubuh. Di dalam paru-paru karbondioksida merupakan hasil buangan yang menembus membran alveoli. Dari kapiler darah dikeluarkan melalui pipa bronkus berakhir sampai pada mulut dan hidung (Syaifuddin, 2006). Empat proses yang berhubungan dengan pernapasan pulmoner :
(1)   Ventilasi pulmoner, gerakan pernapasan yang menukar udara dalam alveoli dengan udara luar.
(2)   Arus darah melalui paru-paru, darah mengandung oksigen masuk ke seluruh tubuh, karbondioksida dari seluruh tubuh masuk ke paru-paru.
(3)   Distribusi arus udara dan arus darah sedemikian rupa dengan jumlah yang tepat, yang bisa dicapai untuk semua bagian.
(4)   Difusi gas yang menembus membran alveoli dan kapiler karbondioksida lebih mudah berdifusi dari pada oksigen.
Proses pertukaran oksigen dan karbondioksida terjadi ketika konsentrasi dalam darah mempengaruhi dan merangsang pusat pernapasan terdapat dalam otak untuk memperbesar kecepatan dalam pernapasan, sehingga terjadi pengambilan O2 dan pengeluaran CO2 lebih banyak. Darah merah (hemoglobin) yang banyak mengandunng oksigen dari seluruh tubuh masuk ke dalam jaringan, mengambil karbondioksida untuk dibawa ke paru-paru dan di paru-paru terjadi pernapasan eksterna (Syaifuddin, 2006).

2)      Pernapasan sel
(1)   Transpor gas paru-paru dan jaringan
Selisih tekanan parsial antara O2 dan CO2 menekankan bahwa kunci dari pergerakangas O2 mengalir dari alveoli masuk ke dalam jaringan melalui darah, sedangkan CO2 mengalir dari jaringan ke alveoli melalui pembuluh darah. Akan tetapi jumlah kedua gas yang ditranspor ke jaringan dan dari jaringan secara keseluruhan tidak cukup bila O2 tidak larut dalam darah dan bergabung dengan protein membawa O2 (hemoglobin). Demikian juga CO2 yang larut masuk ke dalam serangkaian reaksi kimia reversibel (rangkaian perubahan udara) yang mengubah menjadi senyawa lain. Adanya hemoglobin menaikkan kapasitas pengangkutan O2 dalam darah sampai 70 kali dan reaksi CO2 menaikkan kadar CO2 dalam darah mnjadi 17 kali (Syaifuddin, 2006).
(2)   Pengangkutan oksigen ke jaringan
Sistem pengangkutan O2 dalam tubuh terdiri dari paru-paru dan sistem kardiovaskuler. Oksigen masuk ke jaringan bergantung pada jumlahnya yang masuk ke dalam paru-paru, pertukaran gas yang cukup pada paru-paru, aliran darah ke jaringan dan kapasitas pengangkutan O2 dalam darah.Aliran darah bergantung pada derajat konsentrasi dalam jaringan dan curah jantung. Jumlah O2 dalam darah ditentukan oleh jumlah O2 yang larut, hemoglobin, dan afinitas (daya tarik) hemoglobin (Syaifuddin, 2006).
Transpor oksigen melalui beberapa tahap (Pearce, 2007) yaitu :
a.       Tahap I : oksigen atmosfer masuk ke dalam paru-paru. Pada waktu kita menarik napas tekanan parsial oksigen dalam atmosfer 159 mmHg. Dalam alveoli komposisi udara berbeda dengan komposisi udara atmosfer tekanan parsial O2 dalam alveoli 105 mmHg.
b.      Tahap II : darah mengalir dari jantung, menuju ke paru-paru untuk mengambil oksigen yang berada dalam alveoli. Dalam darah ini terdapat oksigen dengan tekanan parsial 40 mmHg. Karena adanya perbedaan tekanan parsial itu apabila tiba pada pembuluh kapiler yang berhubungan dengan membran alveoli maka oksigen yang berada dalam alveoli dapat berdifusi masuk ke dalam pembuluh kapiler. Setelah terjadi proses difusi tekanan parsial oksigen dalam pembuluh menjadi 100 mmHg.
c.       Tahap III : oksigen yang telah berada dalam pembuluh darah diedarkan keseluruh tubuh. Ada dua mekanisme peredaran oksigen dalam darah yaitu oksigen yang larut dalam plasma darah yang merupakan bagian terbesar dan sebagian kecil oksigen yang terikat pada hemoglobin dalam darah. Derajat kejenuhan hemoglobin dengan O2 bergantung pada tekanan parsial CO2 atau pH. Jumlah O2 yang diangkut ke jaringan bergantung pada jumlah hemoglobin dalam darah.
d.      Tahap IV : sebelum sampai pada sel yang membutuhkan, oksigen dibawa melalui cairan interstisial lebih dahulu. Tekanan parsial oksigen dalam cairan interstisial 20 mmHg. Perbedaan tekanan oksigen dalam pembuluh darah arteri (100 mmHg) dengan tekanan parsial oksigen dalam cairan interstisial (20 mmHg) menyebabkan terjadinya difusi oksigen yang cepat dari pembuluh kapiler ke dalam cairan interstisial.
e.       Tahap V : tekanan parsial oksigen dalam sel kira-kira antara 0-20 mmHg. Oksigen dari cairan interstisial berdifusi masuk ke dalam sel. Dalam sel oksigen ini digunakan untuk reaksi metabolism yaitu reaksi oksidasi senyawa yang berasal dari makanan (karbohidrat, lemak, dan protein) menghasilkan H2O, CO2 dan energi.
(3)   Reaksi hemoglobin dan oksigen
Dinamika reaksi hemoglobin sangat cocok untuk mengangkut O2. Hemoglobin adalaah protein yang terikat pada rantai polipeptida, dibentuk porfirin dan satu atom besi ferro. Masing-masing atom besi dapat mengikat secara reversible (perubahan arah) dengan satu molekul O2. Besi berada dalam bentuk ferro sehingga reaksinya adalah oksigenasi bukan oksidasi (Syaifuddin, 2006).
(4)   Transpor karbondioksida
Kelarutan CO2 dalam darah kira-kira 20 kali kelarutan O2 sehingga terdapat lebih banyak CO2 dari pada O2 dalam larutan sederhana. CO2 berdifusi dalam sel darah merah dengan cepat mengalami hidrasi menjadi H2CO2 karena adanya anhydrase (berkurangnya sekresi kerigat) karbonat berdifusi ke dalam plasma. Penurunan kejenuhan hemoglobin terhadap O2 bila darah melalui kapiler-kapiler jaringan.Sebagian dari CO2 dalam sel darah merah beraksi dengan gugus amino dari protein, hemoglobin membentuk senyawa karbamino (senyawa karbondioksida). Besarnya kenaikan kapasitas darah mengangkut CO2 ditunjukkan oleh selisih antara garis kelarutan CO2 dan garis kadar total CO2 di antara 49 ml CO2 dalam darah arterial 2,6 ml dalah senyawa karbamino dan 43,8 ml dalam HCO2 (Syaifuddin, 2006).

2.3  Patofisiologi Sistem Pernafasan

2.3.1. Bronkitis
2.3.1.1.   Definisi
Bronkitis adalah suatu infeksi saluran pernafasan yang menyebabkan inflamasi yang mengenai trakea, bronkus utama dan menengah yang bermanifestasi sebagai batuk dan biasanya akan membaik tanpa terapi dalam 2 minggu. Bronkitis umumnya disebabkan oleh virus seperti Rhinovirus, RSV, virus influensa, virus parainfluensa, Adenovirus, virus rubela, dan Paramyxovirus dan bronkitis karena bakteri biasanya dikaitkan dengan Mycoplasma pneumonia, Bordetella pertusis, atau Corynebacterium diptheriae (Sudoyo, 2009).
Bronkitis karena bakteri Corynebacterium diptheriae onkitis dibagi menjadi dua (Pearce, 2007) yaitu :
1)      Bronkitis Akut
Merupakan infeksi saluran pernafasan akut bawah. Ditandai dengan awitan gejala yang mendadak dan berlangsung lebih singkat. Pada bronkitis jenis ini, inflamasi (peradangan bronkus biasanya disebabkan oleh infeksi virus atau bakteri, dan kondisinya diperparah oleh pemaparan terhadap iritan, seperti asap rokok, debu, asap kimiawi, dll.
2)      Bronkitis Kronis
Ditandai dengan gejala yang berlangsung lama (3 bulan dalam setahun selama 2 tahun berturut-turut). Pada brokitis kronik peradangan bronkus tetap berlanjut selamabenerapa waktu dan terjadi obstruksi/ hambatan pada aliran udara yang normal di dalam bronkus.

2.3.1.2.   Etiologi
Menurut Sudoyo (2009) bahwa virus yang sama yang menyebabkan pilek dan flu adalah penyebab paling umum dari bronkitis akut  . Virus ini menyebar melalui udara ketika orang batuk. Mereka juga menyebar melalui kontak fisik. Sebagai contoh, di tangan yang belum dicuci. Kadang-kadang bakteri menyebabkan bronkitis akut. Antibiotik dapat mengobati bronkitis bakteri. Mereka tidak bisa mengobati bronkitis virus.  Ada banyak hal yang dapat meningkatkan risiko Anda untuk akut  bronkitis. Ini dikenal sebagai faktor risiko sebagai berikut:
1)      Asap tembakau (termasuk asap rokok)
2)      Debu
3)      Asap (dari ledakan atau kebakaran besar)
4)      Uap
5)      Polusi udara
Menghindari iritasi ini dapat menurunkan risiko Anda untuk bronchitis akut (Sudoyo, 2009).
1)      Bronkitis oleh virus seperti Rhinovirus, RSV, virus influensa, virus parainfluensa, Adenovirus, virus rubela, dan Paramyxovirus.  Menurut laporan penyebab lainnya dapat terjadi melalui zat iritan seperti asam lambung atau polusi lingkungan dan dapat ditemukan setelah pajanan yang berat, seperti saat aspirasi , setelah muntah, atau pajanan dalam jumlah besar yang disebabkan zat kimia dan menjadikan bronkitis kronis.
2)      Bronkitis karena bakteri biasanya dikaitkan dengan Mycoplasma pneumonia yang dapat menyebabkan bronkitis akut dan biasanya terjadi pada anak berusia diatas 5 tahun atau remaja, Bordetella pertusis, atau Corynebacterium diptheriae biasa terjadi pada anak yang tidak di imunisasi dan dihubungkan dengan kejadian trakeobronkitis, yang selama stadium kataral pertusis, gejala-gejala infeksi respiratori lebih dominan. Gejala khas berupa batuk kuat berturut –turut dalam satu ekspirasi yang di ikuti dengan usaha keras dan mendadak untuk inspirasi, sehingga menimbulkan whoop. Batuk biasanya menghasilkan mucus yang kental dan lengket

2.3.1.3.   Manifetasi Klinis
Tanda dan gejala pada kondisi bronkitis akut (Nurarif & Kusuma, 2015) :
1)      Batuk yang sering, kering, pendek, tidak produktif dan timbulnya relatif bertahap, mulai 3-4 hari sesudah munculnya rhinitis. Dalam beberapa hari, batuk menjadi produktif.
2)      Terdengar ronki ketika penyakit semakin memburuk.
3)      Suara pernapasan yang berat dan kasar
4)      Terdengar wheezing saat auskultasi.
5)      Menghilang dalam 10-14 hari
6)      Demam akibat infeksi sekunder dari Streptococcus pneumoniae, Moraxella catarrhais, atau H. Influenzae.
7)      Produksi sputum yang awalnya dari jernih dalam beberapa hari menjadi purulen.
Menurut Sudoyo (2009) gejala utama bronkitis akut adalah batu, dan gejala lain meliputi  :
1)      Orang dewasa :
a.       Produksi sputum,
b.      Sakit tenggorokan,
c.       Hidung tersumbat,
d.      Sakit kepala,
e.       Otot sakit, dan
f.       Kelelahan.
2)      Anak-anak :
a.       Sebuah pilek,
b.      Demam, dan
c.       Batuk dahak atau lender, muntah.
Tanda dan gejala pada kondisi bronkitis kronis:
1)      Batuk yang parah pada pagi hari dan pada kondisi lembab. Bronkitis kronis ditandai dengan batuk dan produksi sputum yang berlebihan (ekspektorasi) dengan disertai rasa kelelahan/lemah dan tidak nyaman akibat batuk kronik berdahak tersebut. Batuk produktif dapat terjadi selaam 3 bulan atau lebih dalam satu tahun selama 2 tahun berturut-turut atau lebih.
2)      Sering mengalami infeksi saluran napas (seperti misalnya pilek atau flu) yang dibarengi dengan batuk. Infeksi bakteri sekunder dengan Streptococcus pneumoniae, Moraxella catarrhais, atau H. Influenzae dapat terjadi.
3)      Gejala bronkitis akut lebih dari 2-3 minggu
4)      Demam tinggi
5)      Sesak napas jika saluran tersumbat
6)      Produksi dahak bertambah banyak berwarna kuning atau hijau


2.3.2.1.   Patofisiologi
Serangan bronchitis akut dapat timbul dalam serangan tunggal atau dapat timbul kembali sebagai eksaserbasi akut dari bronchitis kronis. Pada umunya, virus merupakan awal dari serangan bronchitis akut pada infeksi saluran nafas bagian atas. Dokter akan mendiagnosis bronchitis kronis jika pasien mengalami batuk atau mengalami produksi sputum kurang lebih selama tiga bulan dalam satu tahun atau paling sedikit dalam dua tahun berturut-turut (Sudoyo, 2009).
Serangan bronchitis disebabkan karena tubuh terpapar agen infeksi maupun noninfeksi (terutama rokok), iritan (zat yang menyebabkan iritasi) akan menyebabkan timbulnya respon iflamasi yang  menyebabkan  vasodilatasi, kongesti, edema mukosa, dan  bronkospasme. Tidak seperti empisema, bronchitis lebih memengaruhi jalan nafas kecil dan besar dibandingkan alveoli. Dalam keadaan bronchitis, aliran udara masih memungkinkan tidak mengalami hambatan (Sudoyo, 2009).
Pada keadaan normal, paru paru memiliki kemampuan yang disebut mucocilliary  defence yaitu system penjagaan paru paru yang dilakukan oleh mucus dan silliary. Pada pasien dengan bronchitis akut, system mucocilliary  defence paru paru mengalami kerusakan sehingga lebih muda terserang infeksi. Ketika infeksi timbul, kelenjar mucus akan menjadi hipertropi atau hyperplasia (ukuran membesar dan jumlah bertambah) sehingga produksi mucus akan meningkat. Infeksi juga menyebabkan dinding bronkial meradang, menebal, (sering kali sampai dua kali ketebalan normal) dan mengeluarkan mucus kental. Adanya mucus kental dari dinding bronkial dan mucus yang dihasilkan dari kelenjar mucus dalam jumlah banyak akan menghambat beberapa aliran udara kecil dan mempersempit saluran udara besar (Sudoyo, 2009).
Mukus yang kental dan pembesaran bronkus akan mengobstruksi jalan nafas terutama selama ekspirasi. Jalan napas selanjutnya mengalami kolaps dan udara terperangkap dari bagian distal pada paru-paru. Obstruksi ini menyebabkan penurunan ventilasi alveolus, hipoksia, dan asidosis. Pasien mengalami kekurangan O2 jaringan dan ratio ventilasi perfusi abnormal timbul,  dimana terjadi penurunan PO2. Kerusakan ventilasi juga dapat meningkat nilai PCO2 sehingga pasien terlihat sianosis. Sebagai kompensasi dari hipoksemia, maka terjadi polisitemia (produksi eritrosit berlebihan) (Sudoyo, 2009).
Pada saat penyakit bertambah parah, sering ditemukan produksi sejumlah sputum yang hitam, biasanya karena infeksi pulmonary. Selama infeksi, pasien mengalami reduksi pada FEV dengan peningkatan pada RV dan FRC. Jika masalah tersebut tidak ditanggulangi, hipoksemia akan timbul yang akhirnya menuju penyakit cor pulmonal dan CHF (Congestive Heart Failure) (Sudoyo, 2009).

2.3.2.  Efusi Pleura
2.3.2.1.   Definisi
Efusi pleura adalah akumulasi cairan pleura akibat peningkatan kecepatan  produksi cairan, penurunan kecepatan pengeluaran cairan atau keduanya, disebabkan oleh satu dari lima mekanisme berikut (Sudoyo, 2009):
1)      Peningkatan tekanan pada kapiler subpleura/ limfatik
2)      Peningkatan permeabilitas kapiler
3)      Penurunan tekanan osmotik koloid darah
4)      Peningkatan tekanan negative intrapleura
5)      Kerusakan drainase limfatik ruang pleura

2.3.2.2.   Etiologi
1)      Infeksi
a.       Tuberkulosis
Efusi pleura tuberculosis disebabkan oleh kombinasi infeksi tuberculosis direk pada ruang pleura dan keadaan hipersensitivitas terhadap basil tuberkel. Efusi dapat menyertai infeksi primer pada anak kecil tetapi jarang terjadi. Pada pasien anak efusi sering disertai tanda radiologis yang mendukung diagnosis seperti fokus primer atau pembesaran nodus hilar. Aspirat pleura sering mengandung hasil tuberkel.
b.      Pneumonitis
Efusi pleura dapat menjadi komplikasi pneumonia bacterial, meskipun jarang pada pneumonia viral. Efusi pasca pneumotik dapat menjadi tempat infeksi piogenik yang menyebabkan empiema. Biasanya efusi berkembang setelah pasien penderita pneumonia bacterial telah minum obat antibiotik.
c.       Abses paru
d.      Perforasi esophagus
e.       Abses subkronik
f.       Pleuritis karena Virus dan mikoplasma
Jenis virusnya: Echo virus, Coxsackie virus, Chlamidia, Rickettsia, dan mikoplasma. Cairan efusi biasanya eksudat dan berisi leukosit antara 100-6000 /cc.
g.      Pleuritis karena bakteri Piogenik
Aerob: Streptococcus pneumonia, Streptococcus mileri, Saphylococcus aureus, Hemofilus spp, E. coli, Klebsiella, Pseudomonas spp.
Anaerob: Bacteroides spp, Peptostreptococcus, Fusobacterium
h.      Pleuritis Tuberkulosa
Permulaan penyakit ini terlihat sebagai efusi yang bersifat eksudat. Kebanyakan terjadi sebagai komplikasi tuberkulosis paru melalui fokus subpleura yang robek/ melalui aliran getah bening. Cairan efusi yang biasanya serous, kadang-kadang bisa juga hemoragis. Jumlah leukosit antara 500-2000 /cc. Mula-mula yang dominan adalah sel polimorfonuklear, tapi kemudian sel limfosit. Cairan efusi sangat sedikit mengandung kuman tuberculosis.
i.        Pleura karena Fungi
Pleuritis karena fungi amat jarang, biasanya terjadi karena penjalaran infeksi fungi dari jaringan paru. Jenis fungi penyebab pleuritis adalah aktinomikosis, koksidioidomikosis, aspergillus, kriptokokus, histoplasmosis, blastomikosis. Patogenesis timbulnya efusi pleura adalah karena reaksi hipersensitivitas lambat terhadap organisme fungi.
j.        Pleuritis karena parasite
Parasit yang dapat menginfeksi ke dalam rongga pleura hanyalah amoeba. Bentuk tropozoit datang dari parenkim hati menembus diafragma terus ke parenkim paru dan rongga pleura. Dapat pula terjadi empiema karena amoeba yang cairannya berwarna khas merah coklat. Di sini parasit masuk ke rongga pleura secara migrasi dari perenkim hati. Dapat juga karena adanya robekan dinding abses amoeba pada hati ke arah rongga pleura.
2)      Non Infeksi
a.       Karsinoma paru
b.      Karsinoma pleura: primer, sekunder
c.       Karsinoma mediastinum
d.      Tumor ovarium
e.       Bendungan jantung: gagal jantung, perikarditis konstriktiva
f.       Gagal hati
g.      Gagal ginjal
h.      Hipotiroidisme
i.        Kilotoraks
j.        Emboli paru
Keadaan ini dapat disertai infark paru/ tanpa infark. Emboli menyebabkan turunnya aliran darah arteri pulmonalis, sehingga terjadi iskemia maupun kerusakan parenkim paru dan memberikan peradangan dengan efusi yang berdarah (warna merah). Cairan efusi biasanya bersifat eksudat, jumlahnya tidak banyak, dan biasanya sembuh secara spontan, asal tidak terjadi emboli pulmonal lainnya. Pada efusi pleura dengan infark paru jumlah cairan efusinya lebih banyak dan waktu penyembuhan juga lebih lama.

2.3.2.3.   Manifestasi Klinis
Biasanya disebabkan oleh penyakit dasar. Pneumonia menyebabkan demam, menggigil, dan nyeri dada pleuritis, sementara efusi maligna dapat mengakibatkan dispnea dan batuk. Efusi pleura yang luas akan menyebabkan sesak napas. Area yang mengandung cairan atau menunjukkan bunyi napas minimal atau tidak sama sekali menghasilkan bunyi datar, pekak saat diperkusi. Egoni akan terdengar di atas area efusi. Deviasi trakea menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi jika terjadi penumpukan cairan pleural yang signifikan. Bila terdapat efusi pleural kecil sampai sedang, dyspnea mungkin saja tidak terdapat (Sudoyo, 2009).
Manifestasi klinis yang muncul pada pasien dengan efusi pleura (Nurarif & Kusuma, 2015):
1)      Adanya timbunan cairan mengakibatkan perasaan sakit karena pergesekan, setelah cairan cukup banyak rasa sakit hilang. Bila cairan banyak, penderita akan sesak napas.
2)      Adanya gejala-gejala penyakit penyebab seperti demam, menggigil, dan nyeri dada pleuritis (pneumonia), panas tinggi (kokus), subfebril (tuberkulosis), banyak keringat, batuk, banyak riak.
3)      Deviasi trachea menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi jika terjadi penumpukan cairan pleural yang signifikan.
4)      Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan berlainan, karena cairan akan berpindah tempat. Bagian yang sakit kurang bergerak dalam pernapasan, fremitus melemah (raba dan vocal), pada perkusi didapati daerah pekak, dalam keadaan duduk permukaan cairan membentuk garis melengkung (garis Ellis Damoiseu).
5)      Didapati segitiga Garland, yaitu daerah yang pada perkusi redup timpani di bagian atas garis Ellis Domiseu. Segitiga Grocco-Rochfusz, yaitu derah pekak karena cairan mediastinum kesisi lain, pada auskultasi daerah ini didapati vesikuler melemah dengan ronchi.
6)      Pada permulaan dan akhir penyakit terdengar krepitasi pleura.

2.3.3.  Pneumonia
Umumnya mikroorganisme bakteri, jamur, fungi, aspirasi penyebab pneumonia masuk melalui saluran pernapasan bagian atas, masuk bronkiolus dan alveoli. Mikroorganisme dapat meluas dari alveoli ke alveoli diseluruh segmen atau lobus. Timbulnya hepatisasi merah akibat perembesan eritrosit dan beberapa leukosit dari kapiler paru. Alveoli menjadi penuh dengan cairam edema yang berisi eritrosit dan fibrin serta relatif sedikit leukosit sehingga kapiler alveoli menjadi melebar dan penurunan jaringan efektif paru.
Paru menjadi terisi udara, kenyal, dan berwarna merah, stadium ini dinamakan hepatisasi merah. Pada tingkat lanjut, aliran darah menurun, alveoli penuh dengan leukosit dan relatif sedikit eritrosit dan terjadi fagositosis dengan cepat oleh leukosit dan saat resolusi berlangsung, makrofag masuk ke dalam alveoli. Paru masuk dalam tahap hepatisasai abu-abu dan tampak berwarna abu-abu kekuningan.  Secara perlahan-lahan sel darah merah mati, dan eksudat-fibrin dibuang dari alveoli. Stadium ini disebut stadium resolusi (Syaifuddin, 2006).

2.3.4.  Tuberkulosis Paru
2.3.4.1.   Pengertian Tuberkulosis Paru (TB Paru)
Tuberkulosis paru merupakan suatu penyakit menular yang disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberculosis yang merupakan salah satu penyakit saluran pernapasan bagian bawah yang sebagian besar basil tuberkulosis masuk ke dalam jaringan paru melalui airbone infection dan selanjutnya mengalami proses yang dikenal sebagai fokus primer dari ghon (Pearce, 2007).

2.3.4.2.   Etiologi
Penyebab tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis. Bakteri tersebut mempunyai ukuran panjang 0,5 – 4 mikron dan tebal 0,3 – 0,6 mikron dengan bentuk batang tipis, lurus atau agak bengkok, bergranular atau tidak mempunyai selubung, tetapi mempunyai lapisan luar tebal yang terdiri dari lipoid (terutama asam mikolat) dan digolongkan dalam basil tahan asam (BTA) (Pearce, 2007).
Ada dua macam mikobakteria tuberkulosis yaitu tipe human dan tipe bovin. Basil tipe bovin berada dalam susu sapi yang menderita mastitis tuberkulosis usus. Basil tipe human bisa berada di bercak ludah (droplet) di udara yang berasal dari penderita tuberkulosis dan orang yang rentan terinfeksi tuberkulosis bila menghirup bercak ini (Pearce, 2007).
Bakteri tuberkulosis ini mati pada pemanasan 100°C selama 5-10 menit atau pada pemanasan 60°C selama 30 menit, dan dengan alkohol 70-95% selama 15-30 detik. Bakteri ini tahan selama 1-2 jam di udara terutama di tempat yang lembab dan gelap (bisa berbulan-bulan), namun tidak tahan terhadap sinar matahari (Pearce, 2007).

2.3.4.3.   Patofisiologi
Penyebaran kuman Mycobacterium tuberculosis bisa masuk melalui tiga tempat yaitu saluran pernapasan, saluran pencernaan dan adanya luka yang terbuka pada kulit. Penularan tuberkulosis paru terjadi karena kuman dibersinkan atau dibatukkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk dan kelembaban (Sudoyo, 2009).
Dalam suasana lembab dan gelap kuman Mycobacterium tuberculosis dapat tahan selama berhari-hari sampai berbulan-bulan. Bila partikel infeksi ini terhirup oleh orang sehat akan menempel pada jalan napas atau paru-paru. Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukurannya kurang dari 5 mikromilimeter (Sudoyo, 2009).
Tuberkulosis merupakan penyakit yang dikendalikan oleh respon imunitas perantara sel. Sel efektornya adalah makrofag sedangkan limfosit (sel T) adalah imunoresponsifnya. Tipe imunitas seperti ini biasanya lokal, melibatkan makrofag yang diaktifkan di tempat infeksi oleh limfosit dan limfokinnya. Respon ini desebut sebagai reaksi hipersensitifitas (Sudoyo, 2009).
Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus biasanya diinhalasi sebagai unit yang terdiri dari satu sampai tiga basil. Gumpalan basil yang besar cenderung tertahan di hidung dan cabang bronkus dan tidak menyebabkan penyakit. Setelah berada di ruang alveolus biasanya di bagian bawah lobus atas paru-paru atau di bagian atas lobus bawah, basil tuberkel ini membangkitkan reaksi peradangan. Leukosit polimorfonuklear tampak didaerah tersebut dan memfagosit bakteria namun tidak membunuh organisme ini. Sesudah hari-hari pertama leukosit akan digantikan oleh makrofag (Sudoyo, 2009).
Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi dan timbul gejala  pneumonia akut. Pneumonia seluler akan sembuh dengan sendirinya, sehingga tidak ada sisa atau proses akan berjalan terus dan bakteri akan terus difagosit atau berkembang biak didalam sel. Basil juga menyebar melalui getah bening menuju kelenjar getah bening regional. Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit. Reaksi ini butuh waktu 10-20 hari (Sudoyo, 2009).
Nekrosis pada bagian sentral memberikan gambaran yang relatif padat seperti keju, lesi nekrosis ini disebut nekrosis kaseosa. Daerah yang terjadi nekrosis kaseosa dan jaringan granulasi disekitarnya yang terdiri dari sel epiteloid dan fibroblast menimbulkan respon berbeda. Jaringan granulasi menjadi lebih fibrosa membentuk jaringan parut yang akhirnya akan membentuk suatu kapsul yang mengelilingi tuberkel (Sudoyo, 2009).
Lesi primer paru dinamakan focus ghon dan gabungan terserangnya kelenjar getah bening regional dan lesi primer dinamakan kompleks ghon. Respon lain yang dapat terjadi di daerah nekrosis adalah pencairan dimana bahan cair lepas kedalam bronkus dan menimbulkan kavitas. Materi tuberkel yang dilepaskan dari dinding kavitas akan masuk kedalan percabangan trakeobronkhial. Proses ini dapat terulang lagi kebagian paru lain atau terbawa kebagian laring, telinga tengah atau usus (Sudoyo, 2009).
Kavitas kecil dapat menutup sekalipun tanpa pengobatan dan meninggalkan jaringan parut fibrosa. Bila peradangan mereda lumen brokus dapat menyempit dan tertutup oleh jaringan parut yang terdapat dekat dengan perbatasan bronkus. Bahan perkejuan dapat mengental sehingga tidak dapat mengalir melalui saluran penghubung sehingga kavitas penuh dengan bahan perkejuan dan lesi mirip dengan lesi kapsul yang terlepas. Keadaan ini dapat dengan tanpa gejala dalam waktu lama atau membentuk lagi hubungan dengan brokus sehingga menjadi peradangan aktif (Sudoyo, 2009).
Penyakit dapat menyebar melalui getah bening atau pembuluh darah. Organisme yang lolos dari kelenjar getah bening akan mencapai aliran darah dalam jumlah kecil, kadang dapat menimbulkan lesi pada organ lain (ekstrapulmoner). Jenis penyebaran ini disebut limfohematogen yang biasanya sembuh sendiri. Penyebaran hematogen biasanya merupakan fenomena akut yang dapat menyebabkan tuberkulosis milier. Ini terjadi apabila fokus nekrotik merusak pembuluh darah sehingga banyak organisme yang masuk kedalam sistem vaskuler dan tersebar ke dalam sitem vaskuler ke organ-organ tubuh (Sudoyo, 2009).

2.3.5. Asma
Menurut Sudoyo, dkk (2009) obstruksi jalan nafas pada asma merupakan kombinasi dari spasme otot bronkus sumbatan mucus edema dan inflamasi dinding bronkus. Obstruksi bertambah berat selama ekspirasi karena secara fisiologis saluran nafas menyempit selama fase tersebut yang mengakibatkan udara distal tempat terjadinya obstruksi terjebak tidak bisa diekspirasi.
Selanjutnya terjadi peningkatan volume residu, kapasitas residu fungsional (KRF) dan pasien pasien akan bernafas pada volume yang tinggi mendekati kapasitas paru total. Keadaan hiper inflasi ini bertujuan agar saluran nafas tetap tebuka dan pertukaran gas berjalan lancar. Untuk mempertahankan hiperinflasi ini diperlukan otot-otot bantu nafas (Pearce, 2007).
Gangguan yang berupa obstruksi saluran nafas dapat dinilai secara obsjektif dengan VEP 1 (volume ekspirasi paksa detik pertama) atau APE (arus puncak ekspirasi) sedangkan penurunan KVP (kapasitas vital paksa) menggambarkan derajat hiper inflasi paru. Penyempitan saluran nafas dapat terjadi baik pada saluran nafas sedang, besar maupun kecil. Di dalam mengi menandakan ada penyempitan di saluran nafas besar, sedangkan pada saluran nafas kecil gejala batuk dan sesak lebih dominan dibading mengi (Sudoyo, 2009)
Penyempitan saluran nafas ternyata tidak merata diseluruh bagian paru. Ada daerah-daerah yang kurang mendapat ventilasi sehingga darah kapiler yang melalui daerah tersebut mengalami hipoksia. Penurunan PAO2 kemungkinan merupakan kelainan pada asma subklinis. Untuk mengatasi kekurangan oksigen tubuh melakukan hiperventilasi agar kebutuhan oksigen terpenuhi. Tetapi akibatnya pengeluaran CO2 menjadi berlebihan. Sehingga PACO2 menurun yang kemudian menimbulkan alkaliosisrespiratorik (Pearce, 2007).
Pada asma berat banyak saluran nafas dan alveolus tertutup oleh mucus sehingga tidak memungkinkan terjadinya pertukaran gas. Hal ini menyebabkan hipoksemia dan kerja otot-otot pernafasan bertambah berat serta terjadi peningkatan produksi CO2 yang disertai dengan penurunan ventilasi alveolus menyebabkan retensi CO2 (hiperkapnie) dan terjadi asidosis respiratorik (gagal nafas). Hipoksemia yang berlangsung lama menyebabkan asidosis metabolic dan konstriksi pembuluh darah paru yang kemudian menyebabkan shunting yaitu peredaran darah tanpa melalui unit pertukaran gas yang baik sehingga memperburuh hiperkapnia (Sudoyo, 2009).
Penyempitan saluran nafas pada asma menyebabkan hal-hal sebagai berikut:
1)      Gangguan ventilasi berupa hipoventilasi
2)      Ketidakseimbangan ventilasi perfusi dimana distrinusi ventilasi tidak setara dengan sirkulasi darah paru
3)      Gangguan difusi gas ditingkat alveoli
Ketiga faktor tersebut akan menyebabkan hiperkapnia, hipoksemia, asidosis respiratori pada tahap yang sangat lanjut (Sudoyo, 2009).



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Soal Ulangan Remidial Anatomi dan Fisiologi

UJIAN REMIDIAL ANATOMI DAN FISIOLOGI KELAS X Kep SILAHKAH KLIK DISINI